HUTAN di dataran tinggi Gayo, Aceh, disebut-sebut salah satu paru-paru dunia. Banyak program pelestarian lingkungan dicanangkan. Namun warga mengaku tak dapat untung dari kompensasi jasa karbon.
Raut muka jempa menerawang. Ia memikirkan nasibnya. Ia punya angan-angan untuk meningkatkan penghasilannya sehari-hari, impian yang dimiliki semua orang. Tapi masalahnya bagi jempa adalah ia tidak tahu bagaimana caranya
Baginya membuka kebun lagi adalah pilihan yang paling jitu. Tidak perduli apakah hutan lindung atau produksi atau hutan apalah.
Jempa seorang petani. Profesi ini sudah turun temurun. Ia punya satu setengah hektar kebun kopi. Ia juga menamam sayur-sayuran untuk menambahkan penghasilan. Kebun jempa terletak dikaki gunung Gerdong, di kawasan kecamatan Bukit, Bener Meriah. Kebun jempa sebenarnya telah masuk kawasan hutan lindung. Ia mengaku tahu hal tersebut” Tapi bagaimana lagi, berkebun adalah tumpuan harapan masa depan” ujar jempa. Ia mengaku berencana akan membuka kebun baru lagi.
by:
Jempa Simahate
Ada banyak jempa-jempa lain di dataran Tinggi Gayo. Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara adalah empat kabupaten yang berada di kawasan dataran tinggi Gayo. Sebagian besar daerah Gayo Lues, Aceh Tenggara dan sedikit kawasan Aceh Tengah masuk dalam kawasan Ekosistem Lueser (KEL), kawasan hutan lindung yang juga disebut-sebut sebagai paru-paru dunia. Di hutan ini terdapat satwa-satwa langka yang di lindungi.
Seiring waktu anggapan tersebut terbantahkan. Data terakhir dari Dinas Pencatatan sipil dan kependudukan jumlah masyarakat Gayo Lues 90 ribu jiwa dengan pertambahan penduduk tiap tahun lima persen. Ini berarti setahun 4500 orang bertambah tiap tahun. Yang artinya 45 ribu bertambah dalam sepuluh tahun ke depan. Pertambahan tersebut akan menyebabkan pembukaan lahan baru.
Ekosistem Leuser Terancam
Kegiatan perambahan ini diperparah dengan pembangunan jalan di sekitar areal tersebut. Saat ini pemkab Gayo Lues telah membangun jalan. Seperti ruas jalan Babahrot (Gayo Lues)-Tongra (kabupaten Abdya) sepanjang 74 kilometer lebih yang telah tembus tahun lalu dengan lebar badan jalan seluas 9 meter lebih. Begitu juga dengan pembangunan jalan lintas Gayo Lues-Aceh Barat Daya, Gayo Lues-Takengon, Bener Meriah-Bireuen, serta Gayo Lues-Aceh Tamiang hingga Aceh Timur.
Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) menyebutkan sejak tahun 2005 hingga akhir tahun 2009, kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) mencapai 36.000 hektare. BPKEL adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintahan Aceh untuk pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
“Awal tahun 2005 luas tutupan hutan di KEL adalah 1.982.000 hektare dan pada akhir tahun 2009 tutupan hutannya mengalami deforestasi (hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara) sehingga luasnya menjadi 1.946.000 hektare,”
Kerusakan hutan di KEL selama lima tahun terakhir mencapai 1,8 persen atau rata-rata 0,36 persen per tahun. Artinya tutupan hutan di KEL per tahun mengalami kerusakan 7.200 hektare atau setara dengan 8.700 kali luas lapangan bola kaki.
Data-data tersebut diperoleh berdasarkan hasil interpretasi citra satelit LANDSAT (USGS/NASA) dari tahun 2005 hingga 2009 “Tutupan hutan di KEL mengalami deforestasi (hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara) disebabkan oleh pembangunan jalan yang membelah KEL, illegal logging, pembukaan lahan perkebunan, umumnya kelapa sawit,” Selain itu, kerusakan hutan juga disebabkan oleh pertambangan, perambahan, transmigrasi,
Untuk masalah pembangunan jalan tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengusulkan untuk dibentuk Tim Verifikasi yang di SK-kan oleh Gubernur Aceh yang melibatkan unsur Pemda, Akademisi, Aparat Penegak Hukum, Media dan LSM. "Tim yang dibentuk ini nantinya akan melakukan kajian dari aspek hukum, sosial, ekonomi, budaya dan analisis pengurangan resiko bencana, di setiap ruas jalan yang akan dibangun oleh Pemerintah di Provinsi Aceh. Hasil kajian tim inilah yang dijadikan dasar pengambilkan keputusan oleh Gubernur Aceh untuk pembangunan jalan di Aceh," papar Bambang Antariksa dari Walhi Aceh.
Lain lagi cerita di kabupaten Bener Meriah meski tidak masuk kawasan KEL, tapi daerah paling parah yang hutan lindungnya di rambah warga.
Di sepanjang rute yang dilewati, menjumpai puluhan tumpukan kayu yang telah diolah menjadi bahan jadi dengan berbagai ukuran. Dan lokasi penebangan kayu dikawasan hutan hulu sungai Hulu Ara Kundo. Tim gabungan sempat menangkap pelaku penebang liar dengan barang bukti satu unit chansaw dan satu untit Boat perahu di daerah Berawang Sunel. Dari pengakuan pelaku penebang kayu hasil pembelakan itu dibawa keluar daerah, tepatnya ke Aceh Utara.
Fakta ini membuktikan kalau kian hari hutan di dataran tinggi Gayo terus di rambah. Meski operasi-operasi untuk menangkap pelaku penebangan liar itu terus dilakukan, tetapi tetap saja hutan di kawasan ini terus di rambah. Perambahan ini sudah berlangsung sekian lama.
Program Jeda Tebang, atau moratorium logging atau jeda tebang yang canangkan oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf ternyata tidak begitu membuahkan hasil.
Masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada masalah lain yang menghambat pelestarian hutan itu sendiri. Kompensasi hasil konvensi Kyoto,yang membayar setiap 1 Kg karbon US $ 6.000( 6000.US dollar/kg). Namun sepertinya kompensasi dari perdagangan karbon tidak dirasakan oleh masyarakat. Hal ini menyulut protes dari masyarakat setempat. Mereka bertanya kemana dana kompensasi tersebut, siapa yang menikmati dana itu, apakah pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau penggiat lingkungan yang berbaju NGO.???????
Seperti yang terjadi di Gayo Lues. Masyarakat mengaku sudah muak terhadap penggiat lingkungan yang selama ini menjual keberadaan hutan Lueser dan hutan-hutan lainnya di Gayo atas nama lingkungan.
Di Gayo Lues, 21 juta ton pertahun Redalaman karbon yang bisa dihasilkan oleh “Jangankan untuk merusak hutan, membuat jalan saja bagi kepentingan ekonomi masyarakat, penggiat lingkungan selalu protes, sehingga jalan tersebut tidak jadi dibangun” Ujar Wien Beni, salah seorang warga Gayo Lues.
Pembukaan jalan tersebut kata bupati Gayo Lues H. Ibnu Hasim S,Sos, MM Telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Hasil-hasil bumi seperti sayuran kini bisa di jual di kabupaten Abdya, sebaliknya hasil alam dari Abdya seperti ikan bisa di nikmati oleh Gayo Lues.
Masalah lainnya adalah masalah tapal batas lindung yang tidak jelas. Di Aceh Tengah, mencuat isu perambahan lebih dari 500 hektare kawasan hutan lindung di Kabupaten Aceh Tengah , perambahan hutan lindung itu terjadi di Kampung Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah. Hutan lindung itu, kini telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan yang digarap oleh warga, dan sebagian telah di kavling-kavling dan dibagikan kepada warga setempat. Dimulai sejak 2009 dibagikan kepada sepuluh kelompok tani untuk tanaman kopi.
Perambahan itu legal, karena merupakan program pemerintah untuk memperdayakaan masyarakat miskin. Program tersebut adalah program provinsi Aceh, pemkab Aceh Tengah hanya sebagai tim koordinasi dan menyediakan lahan.
Beberapa LSM lingkungan menilai itu adalah illegal logging karena letaknya di kawasan hutan lindung. Menurut peta, 500 hektar itu berada pada ketinggian gunung, kawasan hutan itu hanya sedikit lagi tersisa sekitar dua hektare pada posisi puncak gunung saja. Dari data peta, kawasan hutan lindung itu barada titik koordinat 96’43’30 Bujur Timur (BT) – 96’45’40 BT, dan 4’28’15 Lintang Utara (LU) – 4’29’15 LU, menurut peta Departemen Kehutanan RI, kawasan tersebut termasuk Hutan Lindung. Seluas 500 hektar hutan yang dirambah di Kala Wih Ilang masuk kawasan hutan lindung.
Di Aceh Tengah, juga terdapat dua hutan konservasi taman buru, di dua kecamatan yaitu kecamatan Linge dan bintang. Dari luas 42.900 hektare. Kecamatan Bintang tercatat sekitar sebanyak 14.829 hektare diantaranya adalah hutan Taman Buru, hutan produksi 10.570 hektare, hutan lindung 12.706 hektare dan Areal Pengguna Lain (APL) seluas 4.795 hektare. Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin menjelaskan, masyarakat di Bintang dan Linge yang berdekatan dengan Taman Buru tersebut sudah lama beraktivitas di dalamnya. "Masyarakat sudah lama bertempat tinggal dengan pekerjaan sebagai petani dan peternak di kawasan hutan Taman Buru Linge ini. Oleh karena itu, mereka berharap adanya kejelasan tentang batasan-batasan sehingga warga bisa aman dalam beraktivitas”ungkapnya.
Para bupati di dataran tinggi Gayo, punya pendapat sama terkait masalah ini. Bagi mereka ada dua sisi mata uang dalam permasalah ini, antara pelestarian lingkungan dan pembangunan perekonomian masyarakat. Di satu sisi pemerintah setempat berkewajiban untuk membangun perekonomian masyarakat. Terutama di daerah-daerah marginal yang umumnya berada di sekitar kawasan hutan lindung” Hal ini semua membuat pemerintah setempat, serba salah untuk membuat kebijakan dalam membuat program-program pembangunan” kata Nasaruddin.
Begitulah realita dilema permasalahan yang terjadi saat ini. Tapi bagi masyarakat yang paling penting adalah Memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan bercocok tanam adalah solusi yang mereka punya. Tanpa pembekalan lainnya. Pilihan selanjutkan kembali kepada pemerintah dan Pihak terkait lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar